Aliansi Peduli Kemanusiaan Melakukan Aksi Bakar 1000 Lilin untuk Keadilan bagi Keluarga Adelina Sau

Oebobo, Kupang. Jaringan Solidaritas Kemanusiaan Nusa Tenggara Timur (NTT) mengundang secara terbuka Semua elemen masyarakat yang mencintai kemanusiaan dan keadilan untuk melakukan Aksi Bakar Lilin Bersama Menentang Putusan Bebas Majikan Adelina Sau dan Memperingati Hari Anti Penyiksaan Sedunia.

Aksi bakar lilin ini berlangsung di depan Kantor Gubernur Nusa Tenggara Timur pada Sabtu, 02 Juli 2022. Adapun agenda yang dilakukan adalah pembacaan puisi, menyanyikan lagu-lagu nasional, orasi, pernyataan sikap dan doa bersama. Aksi ini dilaksanakan sebagai wujud kepedulian sekaligus respon terhadap tindak kekerasan yang dialami oleh para Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Malaysia.

Kejahatan kemanusiaan telah  menimbulkan luka dan trauma mendalam bagi korban sendiri, keluarga dan juga rakyat yang masih memiliki nurani. Adelina Lisao/Sau, PMI asal Kab. TTS, NTT disiksa dan diperlakukan seperti binatang oleh majikannya, Ambika MA Shan di Malaysia, hingga kemudian meninggal dunia secara menggenaskan pada 11 Februari 2018.

Proses persidangan terhadap majikan Adelina berlangsung tarik ulur di Malaysia. Hingga pada 23 Juni 2022 Mahkamah Tinggi Malaysia menjatuhkan putusan bebas pada majikannya. Berbeda dengan proses peradilan di Indonesia sindikatnya malah telah terpenjara.

Kembali ke tahun 2015 silam, Mariance Kabu, salah satu PMI asal TTS, NTT mengalami kekerasan luar biasa oleh majikannya, Ong Sung Ping Serene di Malaysia. Walaupun selamat dari maut, tapi luka dan trauma masih dirasakan Mariance hingga saat ini.  Majikannya sempat diproses secara hukum, namun tidak ada kejelasan putusan hukum hingga hari ini. Itu berarti majikannya masih bebas berkeliaran.

Keputusan ini mengiris hati dan memicu kemarahan publik. Seolah-olah tak puas dengan mengirim jenazah pekerja migran Indonesia asal NTT hampir setiap hari, Malaysia malah memvonis bebas majikan yang tangannya berdarah.

Aksi solidaritas kemanusiaan yang menuntut keadilan bagi keluarga Adelina Sau berjalan damai. Aksi ini dibuka dengan doa yang dibawakan oleh  Sr. Maria Funan, RVM, kemudian diikuti dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Pada tempat pertama, Pdt. Emmy Sahertian menyampaikan sambutannya untuk menyemangati para relawan yang berjuang untuk keadilan dan kemanusiaan. Pdt. Emmy meminta semua orang untuk tidak lupa melibatkan Tuhan di dalam setiap aksi kemanusiaan sebab jika tanpa Tuhan apa yang dilakukan tidak berarti apa-apa.

“Tanpa doa dan refleksi, perjuangan itu tidak bernyawa. Hari Anti Kekerasan Internasional kita rayakan mengingat provinsi NTT tidak luput dari kekerasan. 1000 lilin bagi perjuangan bagi kobaran kekerasan. Kasus Adelina Sau. Dipekerjakan tanpa hak yang jelas. Disiksa dan ditidurkan bersama anjing”, ungkap Pdt. Emmy dalam sambutannya.

Selanjutnya, pendeta kelahiran Kupang, 27 Desember 1957 ini menegaskan bahwa keputusan bebas bagi mantan majikan Adelina Sau adalah suatu tamparan keras bagi Indonesia dan NTT. Pdt. Emmy juga menegaskan bahwa rakyat Indonesia sudah merdeka namun dengan kekerasan yang dialami oleh para TKW seolah membuat negara Indonesia belum merdeka.

Dua kasus kekerasan TKW yang dialami oleh para TKW asal NTT patut mendapat perhatian dari pemerintah daerah agar tidak lagi meloloskan para TKW ke luar negeri. Kasus yang menimpa Mariance Kabu yang siksa hingga menjadi cacat merupakan catatan suram bagi pemerintah NTT.

Kasus terakhir adalah tentang penyiksaan terhadap ibu dan anak di NTT yang sedang hangat adalah kasus pembunuhan Astrid dan Lael. Ini merupakan kasus bersama yang perlu dicari jalan keluarnya. NTT harus menjadi tempat aman bagi perempuan dan anak. Jika tidak maka kita bagian dari penindasan. Semua warga negara Indonesia wajib berteriak bersama untuk keadilan.

“Kita ikut merasakan kehilangan bersama keluarga. Doa kita menguatkan keluarga agar tidak merasa sendiri. Ini penghinaan terhadap ciptaan Tuhan. Kejadian ini seperti.menampar pipi bangsa Indonesia” demikian kata Pdt. Emmy.

Setelah sambutan dari Pdt. Emmy, acara dilanjutkan dengan mendengarkan kesaksian pengalaman pahit yang diderita oleh Mariance Kabu selama delapan bulan bekerja di Malaysia.

Mariance Kabu adalah Korban. Ia mengalami sendiri bagaimana ia diperlakukan tidak manusiawi selama di Malaysia. Ia sangat sedih menghadapi kenyataan pahit yang menimpa dirinya. Mereka yang disiksa tidak ada yang mampu menolong selain dari Tuhan.

“Kita berduka bersama keluarga Adelina, sebab kita semua juga adalah korban. Jangan hanya diam ketika mendengar keputusan bebas mantan majikan Adelina Sau. Kita tidak boleh ada ketakutan  dalam hati sebab di dalam hati kita  ada Tuhan”, tukasnya.

Menurut pengakuan Mariance bahwa pada pertama kali kerja harus ditandatangani perjanjian untuk tidak melarikan diri dan pindah majikan. Jika hal itu dilanggar maka maut akan merenggut mereka. Kendati disiksa hingga mandi darah mereka harus tetap setia bekerja pada majikan yang sama.

“Ada  perjanjian yang harus kami  ditandatangani. Kami tidak boleh tukar majikan. Meski mandi darah setiap hari. Di tangan majikan hanya penyiksaan. Dan banyak TKW ketika kembali hanya peti mayat. Kami tidak pernah duduk di kursi. Selalu duduk di lantai dengan  anjing. Kami memilih duduk dilantai saja yang penting tidak disiksa dan dipukul”, ungkap Mariance

Tidak ada yang  mampu membebaskan mereka dari majikan yang kejam. Dalam kesaksiannya, ia sempat menyentil bahwa kalau semua kaya maka tidak ada yang mengemis dan kalau semua miskin tidak ada yang berbagi.

Sementara itu, P. Selestinus Panggara, CMF, yang mewakili kelompok religius dan saudara-saudari dari agama Katolik, juga turut menyampaikan isi hatinya terkait peristiwa yang menimpa Adelina Sau

“Mewakili kelompok religius dan teman Kristen Katolik. Saya mengucapkan turut berdukacita atas kematian Adelina Sau yang meninggal akibat tindakan perdagangan orang. Rasa prihatin yang mendalam kepada  korban atas  tindak kekerasan yang dialaminya”, kata P. Seles, CMF selaku koordinator SOMI Claret.

Pastor dari Kongregasi Para Misionaris Putra-putra Hati Tak Bernoda Maria ini juga mengungkap bahwa ada banyak saudara-saudari yang mengadu nasib demi keluarga tetapi mereka diperlakukan seperti bintang. Mereka disiksa secara membabi-buta tanpa alasan yang jelas. Untuk itu, P. Seles meminta agar semua pihak mau memperhatikan nasib dari saudara-saudari yang bekerja sebagai pekerja migran di luar negeri. Beliau juga menyemangati para relawan kemanusiaan yang hadir untuk terus mendesak pemerintah agar menyelesaikan kasus-kasus kemanusiaan yang dialami oleh para pekerja migran.

“Hal ini sangat menyayat hati. Semua agama menjunjung tinggi nilai luhur manusia. Dimaki saja sakit, apalagi mengalami kekerasan fisik yang luar biasa. Jangan diam. Kita harus berjuang bersama-sama. Para pemimpin terus berjanji untuk melibas semua orang yang terlibat dalam perdagangan orang. Meskipun sedikit tapi jika berjuang maka akan ada hasil jika pemerintah diam.

Tini, yang berasal dari Rumah Milenial Indonesia (RMI), mengungkapkan bahwa dalam hal keadilan tidak boleh memandang agama.

“Tidak boleh memandang agama apa pun. Setiap orang berhak untuk hidup aman”  demikian sambutan singkat dari Tini mewakili suara orang Islam.

Acara pembakaran lilin tersebut memiliki tiga tujuan, yakni untuk mengenang kematian Adelina Sau sekaligus menentang hasil putusan pengadilan yang membebaskan pelaku kekerasan terhadap Adelina Sau; untuk mendukung Ibu Mariance Kabu; dan sebagai malam peringatan bagi semua orang yang mengalami kekerasan di dalam masyarakat di Hari Anti Penyiksaan Sedunia.

Ada pun organisasi yang terlibat dalam aksi bakar 1000 lilin adalah Jaringan Solidaritas Kemanusiaan; IRGSC; JRUK Kupang; Komunitas Hanaf; RMI (Rumah Milenial Indonesia); Sekolah Harmoni Kupang; Garda BMI NTT; LMID Eksekutif Kota Kupang; Sahabat Solidaritas Perempuan NTT; JPIC Divina Providentia; Serikat Buruh Migran Indonesia-NTT; Rumah Harapan-Kupang; Organisasi Perubahan Sosial Indonesia-Kupang (OPSI); Talitakhum Indonesia; Talitakum Kupang; Komunitas RVM; Komunitas SSpS; JPIC Claretian/SOMI CLARET; dan Senat Mahasiswa Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang.

Aksi ini ditutup dengan pembacaan sembilan tuntutan yang diantaranya mengutuk keras aksi kekerasan yang dialami oleh para pekerja di luar negeri, menuntut pemerintah untuk mengusut lagi hasil pengadilan Malaysia yang membebaskan pelaku kekerasan terhadap Adelina Sau serta meminta kejelasan status hukum dari kasus Mariance Kabu dan meminta pemerintah menyelesaikan kasus yang masih menumpuk di meja Polda NTT.

(Laporan Fr. Yohanes Adrianus Siki, CMF)


Relawan SOMI Claret “Menginvasi” Sampah di Pantai Sulamanda

Mata Air, Kupang. Bumi tempat kita berdiam saat ini darurat sampah. Sampah berserakan di mana-mana baik di pinggir jalan, hutan, sungai dan laut. Keadaan ini telah menjadikan bumi kita ibarat tempat sampah besar (LG 21).

Sebagai bagian dari solidaritas dengan alam, maka Relawan SOMI (Solidaritas dan Misi) Claret bergegas menuju Pantai Sulamanda pada Jumat (6/5/2022) untuk melakukan pembersihan pantai dengan memungut sampah plastik di sepanjang bibir pantai.

Setiap Relawan membawa masing-masing karung untuk menampung sampah yang telah dipunggut. Adapun sampah yang dipilih adalah gelas kemasan air mineral dan aneka plastik lainnya. Kegiatan ini merupakan bagian dari kecintaan kepada alam.

Bumi kita adalah ibu yang jelita yang telah melahirkan tumbuh-tumbuhan hijau, udara yang segar dan air yang sejuk. Namun, dengan kemajuan teknologi yang pesat saat ini, wajah ibu kita yang jelita dilumuri dengan sampah yang berserakan di mana-mana.

“Sampah plastik baru bisa terurai dalam 200 tahun, itupun jika terpapar langsung sinar ultraviolet dari matahari. Jika tenggelam di laut maka akan bertahan selama-lamanya”, ucap P. Seles, CMF selaku koordinator SOMI Claret.

Selain itu, P. Seles juga menegaskan bahwa menyelamatkan bumi dari sampah adalah upaya untuk menjaganya demi masa depan anak cucu. Jika bumi tidak dijaga maka segalanya akan tercemar dan kita hanya mewariskan air mata dan bukan mata air kepada generasi mendatang.

Para Relawan SOMI berisi sekumpulan orang-orang muda yang memiliki semangat kepedulian terhadap alam dan sesama. Kelompok ini terbentuk pada 8 Mei 2021 silam tanggap darurat atas bencana badai Siklon Tropis Seroja yang menimpa NTT, 4-5 April 2021.

Sebagai kaum muda, Relawan SOMI turut berpartisipasi dalam melawan penyebaran sampah demi ke keutuhan ciptaan dan kelestarian alam agar tidak tercemar oleh sampah yang berserakan.

“Keselamatan alam itu penting karena alam adalah bank yang paling kaya”, ucap Yestin Imo, salah satu relawan yang sedang mengenyam pendidikan di Prodi Teknologi Pakan Ternak, Politani Kupang.

“Karena yang bumi butuhkan saat ini adalah tindakan nyata, bukan sekedar berkata-kata”, ungkap Honorata Etralia Mardin Prodi Ilmu Hukum Semester 2 Universitas Nusa Cendana

“Kegiatan hari ini sangat bermanfaat dan menyenangkan, membersihkan pantai Sulamanda dari sampah plastik, yang dibuang pengunjung dan kami sebagai pengunjung yang baik memungutnya kembali dan membuang sampah-sampah tersebut pada tempatnya, demi terjaganya kebersihan lingkungan pantai dan juga ekosistem laut”, ungkap Felixa Yuki Levinda Mahasiswi semester 2 prodi Ilmu Kesehatan Masyarakat, UNDANA.

Para relawan sangat bersyukur bisa turut mengurangi volume sampah di wilayah Kota Kupang agar wajah Kota Kupang terbebas dari sampah dan predikat “Kota Terkotor” tidak lagi disematkan kepada Kota Kupang.

Laporan Fr. Yohanes Adrianus Siki, CMF


Galeri

MENGUATKAN SOLIDARITAS SOSIAL UNTUK UMAT YANG TERDAMPAK PANDEMI COVID-19 PANITE-LINAMNUTU-TOINEKE

Panite-Timor Tengah Selatan-Indonesia. Adalah Prokura Misi Kongregasi menyuntik dana bagi Delegasi Claretian Indonesia-Timor Leste melalui Prokura Misi Delegasinya. Jumlah memang sudah seharusnya tidak perlu diperdebatkan. Rasa kemanusiaanlah yang menggerakkan dana itu tiba di Delegasi. COVID-19 memang bukan berita baru. Satu semester lebih dia menjadi bahan belajar anak-anak manusia. Bahan belajar yang mendatangkan sejumlah rasa iba dan cinta pada kehidupan. Prokura Misi Delegasi yang menerima dana tersebut lalu menggerakkan sayapnya bersama Komunitas SEPEKITA. “Target kita kali ini Panite. Di sana ada Linamnutu yang sekalipun berada di lumbung beras, tetapi umat kita sedang membutuhkan. Karena menggarap sebuah lahan bukanlah alasan memiliki beberapa butir beras. Ada Toineke yang menurut Pastor Paroki Panite, P. Petrus Dami Tasaeb, cmf, adalah tempat yang tidak menanam apalagi memanen. Hujan jarang singgah di sana. Memotong bebak dan dijual pun uangnya tidak seberapa, itu pun jika laku. Ada Pusat Paroki yang tidak semua umatnya mampu. Kita harus ke sana. Bukan saja hanya memberikan sedikit bantuan, tetapi lebih jauh kita hadir dan mendengarkan cerita kehidupan mereka dan memberikan sedikit masukan tentang ‘new normal’ ini”, demikian kata seorang Misionaris.

Tepat pada tanggal 20-21 Juni 2020, kolaborasi ini terjun ke lapangan menjumpai mereka yang membutuhkan. Linamnutu dan Toineke kebagian tanggal 20 sedangkan pusat paroki keesokan harinya. Di Linamnutu (bagian dari Paroki Santa Teresia Kanak-kanak Yesus, Kabupaten Timor Tengah Selatan), sudah menunggu 32 keluarga rentan. Setelah dari sana, tim bergerak semakin ke Timur ke Toineke (juga bagian dari paroki). Di sana sudah menunggu 38 keluarga yang semuanya adalah umat Kapela Toineke. Setelah membahagiakan diri dengan perjalanan kegiatan hari itu, tim beristirahat di pusat paroki dan lalu merencanakan kegiatan keesokan harinya.

Setelah misa bersama umat (di paroki ini sudah diberikan ijinan untuk merayakan Ekaristi bersama umat), tim mulai gerakannya. Dua kelompok dibagi. Satu kempompok adalah 53 keluarga dan kelompok lainnya adalah kelompok anak-anak berjumlah 48 orang anak. “Anak-anak mudah menangkap apa yang disampaikan”, kata seorang anggota komunitas SEPEKITA. Kegiatan berjalan lancar dan terkoordinasi dengan sangat baik. Umat yang dibantu pun merasa sangat berterima kasih. “Pater, terima kasih banyak. Ini sangat membantu saya yang miskin ini”, demikian salah seorang umat memberikan kesan.

Kegiatan ini menginspirasi beberapa pribadi untuk berbagi apa yang mereka miliki melalui jasa dan dana. Sebagian masker yang digunakan dan dibagikan kepada umat adalah bantuan seseorang bernama Pak Piter dan dari KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia).

Adapun informasi isi bingkisan. Bingkisan untuk keluarga: 5 kilogram beras, 5 bungkus mie, 1 renteng ABC Mocca, 250 gram bawang putih, 5 butir telur, rinso cair dan masker. Sedangkan untuk anak-anak berupa: 1 pak biskuit, 6 bungkus minuman Energen, 1 kaleng susu, permen dan masker. Juga diberikan doorprize berupa: 7 buah sling bag, 8 lembar kemeja anak dan 1 tempat madah bhakti.

Masih ada banyak orang baik di dunia ini. Dunia masih adalah tempat yang layak untuk dihuni. Di tengah COVID-19 atau Corona, saya ingat ada DEWA-19 dengan Kirana. Salah satu syairnya, “Tak akan pernah usai cintaku padamu”. Mari memupuk harapan, cinta dan kebahagiaan di tengah situasi sulit ini. Let’s start the revolution from our bed” (P. Gregorius Berthon Mbete, cmf)

Geliat hidup di tengah pandemi Covid-19

Oenopu-TTU-Indonesia. Pandemi Covid-19 tak pernah menyurutkan apalagi mematahkan asa Komunitas Claretian, Paroki St. Antonius Maria Claret Oenopu, Timor Tengah Utara, Keuskupan Atambua untuk menemukan cara-cara baru bagaimana berbagi bersama mereka yang berkekurangan akhibat terpaan virus menakutkan ini.

Saat dunia “disegel” untuk “#DiRumahAja,” tanpa sadar gelindingan roda perekonomian terseret bahkan sempat berhenti sesaat yang berimbas pada ketidak-cukupan asupan kebutuhan pokok hidup masyarakat. Belum lagi curah hujan yang tidak sesuai cita-cita para petani selama ini, meninggalkan tanaman mereka kering, tak berpenghasilan. Litani duka ini akhirnya ditambahkan kembali pada narasi hidup umat.

Dalam kekalutan narasi hidup itu, ada saja segelintir orang peka mendengar jerit dan keluh sesamanya. Komunitas Claretian Oenopu, bekerja sama dengan paguyuban SEPEKITA dan Sahabat Mgr Gabriel Manek (SMGM) serta para donatur, menggagas aksi untuk mengumpulkan sembako dan pakaian layak pakai untuk dibagikan kepada keluarga-keluraga yang tidak mampu di seputaran Oenopu dan wilayah-wilayah sekitarnya. Mereka tulus berbagai dari apa yang mereka miliki bahkan mungkin dari kekurangan yang mereka punyai. Pastor Rekan di Paroki St. Antonius Maria Claret, Oenopu, P. Silverius Petrus Homa, CMF, yang juga ikut terlibat aktif dalam gerakan karitatif ini mengucapkan terima kasih atas kerja sama dan dukungan orang-orang yang berhati mulia yang ikut memikirkan nasib dan kehidupan orang-orang kecil di tengah wabah yang banyak mengubah cara dan gaya hidup kita ini. Semoga virus ini tidak menyegel hati kita untuk selalu peka, solider dan berbagi dengan sahabat-sahabat seperjalan, terutama mereka yang berkekurangan dan tidak berutung dalam hidup. Dunia boleh “disegel” tetapi asa dan hidup mesti tetap berlanjut…

Perdangangan Manusia, “wabah yang janggal”

Claretian House, Kupang – Indonesia. Masalah perdaganan manusia saat ini semakin mewabah. Bisnis pereduksian gambar dan rupa Allah menjadi komoditas pasar bebas ini pun memiliki modus operandi yang acapkali imun dari bacaan gelagat dan alat lacak. Paus Fransiskus menyebutnya sebagai “momok yang mengerikan,” tak hanya itu, praktek perdangangan manusia adalah sebuah “wabah yang janggal” dan “luka menganga di tubuh masyarakat zaman ini.” Berbagai upaya telah dilakukan untuk memerangi jaringan gelap ini, mulai dari seruan profetis Gereja hingga ke aksi berkotor tangan di lapangan, namun rantai jaringan ini tak pernah habis diputus.

Dalam ikhtiar untuk terus bergiat memutuskan rantai jaringan gelap ini, Komunitas PIKLA (Peduli Kemanusiaan, Lingkungan Hidup dan Alam Ciptaan – yang merupakan gabungan dari JPIC para Suster PI dan JPIC Claretian), mengadakan Bedah Buku dan Diskusi tentang Arah Pastoral Anti Perdangangan Manusia di Claretian House, Jl. Claret, Matani, Kupang, Senin, 23 September 2019. Hadir dalam diskusi ini narasumber sekaligus editor buku Arah Pastoral Mengenai Perdagangan Manusia, Rm. Adrianus Suyadi, SJ. Menurut Romo yang menangani urusan human trafficking di Asia-Pasifik ini, “perdagangan manusia adalah bentuk bisnis terburuk yang menjadikan manusia seperti barang dan karena itu harus dilawan.”

Diskusi bersama ini dimoderatori oleh P. Selestinus Panggarra, CMF – pemerhati masalah-masalah kemanusiaan. Sr. Laurentia, PI, dalam sambutannya menyampaikan terima kasih atas kehadiran perwakilan institusi dan komunitas peduli masalah kemanusiaan, antara lain: JPCI Claretian, JPIC Susteran PI, Perwakilan dari GMIT, LSM JRUK, BP3TKI, IRKAK, DISNAKERTRAS, LSM JPIT. Kiranya diskusi ini semakin memperluas wawasan para pemerhati soal-soal kemanusiaan untuk tanggap dan rela berkotor tangan membantu korban serta mengingatkan orang-orang untuk tidak terjerumus ke dalam lingkaran setan ini.

“BE THE CHANGE YOU WANT TO BE!”

CLARETIAN HOUSE, KUPANG. Kehidupan merupakan suatu proses yang terus menggejala memasuki ruang dan waktu. Setiap proses senatiasa bersentuhan dengan “fakta lain” yang berpadu ibarat satu tarikan nafas. Kita tetap akan dan selalu satu. Sebab kita adalah bagian dari fakta. Fakta tentang pengabaian martabat seperti perdagangan manusia terhias jelas di area panggung sosial yang begitu dekat pada tatapan kita. Oleh karena gemanya meluas memasuki dunia batin dan terus menggerogoti sanubari maka kita sebagai manusia dipanggil untuk menanggung, mencari solusi dan menentukan langkah demi kesudahan penyakit sosial ini.

Sebagai manusia yang bernurani dan anggota Gereja, kita merasa tergugah untuk turut menyikapi permasalahan ini sehingga pundak kemanusiaan, Gereja dan negara diringankan dari beban ini. Atas dasar inilah, di bawah payung JPIC CLARETIAN, JPIC SUSTERAN PI dan (Jaringan Ralawan untuk Kemanusiaan atau JRUK dengan memberi nama PIKLA (Peduli kemanusiaan, Lingkungan Hidup dan Alam Ciptaan) mendiskusikan jalan keluar untuk meminimalisir bahkan menyudahi ketimpangan ini. Terhitung sebanyak lima kali pertemuan yang diistilahkan dengan “Kopi Darat” dengan tujuan menjaring orang muda dari berbagai paroki, lembaga, organisasi untuk menyelanggarakan suatu pelatihan yang menyadarkan orang muda akan kenyataan social yang tengah berlangsung.

Kopi Darat I terjadi di Cafe Lasiana yang merupakan dasar inspirasi untuk merancang kegiatan pelatihan bagi Orang Muda Katolik. Karena dalam tatap muka pertama ini diperdengarkan keluhan dan gugahan dari seorang aktivis bernama Ibu Arta tentang kebobrokan sosial. Dan kendala yang cukup signifikan adalah keengganan Orang Muda Katolik untuk terlibat dalam mengatasi masalah sosial khususnya di NTT. Setelah disetujui maka dalam Kopi Darat (pertemuan) selanjutnya dibicarakan hal-hal teknis hingga pemantapan. Kegiatan Pelatihan Kepemimpinam Orang Muda Katolik akan diadakan di Komunitas Claretian House pada tanggal 20-23 Agustus 2019 dengan mengusung tema: BE THE CHANGE YOU WANT TO BE!”

Sedangkan peserta yang ambil bagian dalam kegiatan ini berjumlah 51 orang, terdiri dari Orang Muda Katolik, AMC Regio Timor Barat (Nurobo, Oenopu, Benlutu, Panite dan Kupang) dan Keluarga Mahasiswa Katolik (KMK). Materi- materi pada kegiatan ini berkaitan dengan Panggilan dan Wasasan Iman Katolik yang dibawakan oleh P. Yohanes Dari Salib Jeramu, cmf; Hak Asasi Manusia (HAM) dan Human Trafficking yang dibawakan oleh Ibu Anis Hidayah, SH, MH dari Migran Care; Analisa Sosial perfektif Gereja, Pembentukan kerja tim, Cara berorganisasi, Kepedulian Lingkungan yang dibawakan oleh Mas Lilik Krismantoro dari JPIC Keuskupang Agung Semarang; dan Outbond dari TAGANA Provinsi NTT. Latihan kepemimpinan ini ditutup dengan misa bersama yang dipimpim oleh P. Yohanes Dari Salib Jeramu, cmf didampingi P. Seles Panggara, cmf.

Harapan dari Sr. Laurentina, PI sebagai koordinator Latihan Kepemimpinan ini bahwa Orang Muda Katolik tidak hanya aktif secara internal dalam kegiatan Gereja tetapi juga punya kepekaan terhadap masalah sosial. Orang muda harus belajar untuk berani berargumen, kritis dan mengambil bagian serta memberikan solusi terhadap berbagai masalah sosial kemanusiaan di sekitarnya. (Robin Makin, cmf dan Hanz Pio, cmf)