Oleh P. Yohanes DS. Jeramu, cmf (Superior & Formator CH Kupang)
Pengantar: Detak Nadi Sang Misionaris
Darah dan gairah sebagai misionaris adalah sesuatu yang inheren dalam detak nadi hidup dan karya Pater Claret. Sejak menjadi Pastor rekan dan ekonom selama 4 tahun berkarya di Paroki St. Maria Sallent, dia sungguh menyadari bahwa dirinya tidak cukup hanya menjadi seorang imam projo, yang hanya melayani di satu paroki saja. Dia merasa terpanggil untuk melayani melampaui territorial Cataluña, menjadi misionaris universal. Detak nadi misionernya menggerakan dia untuk tidak merasa nyaman dan puas dengan hanya memimpin misa dan melayani sakramen; Claret menyadari bahwa Allah memanggil dan mengutusnya untuk menjadi pewarta Sabda yang meretas batas-batas parokial, membawa sukacita Injil kepada semua orang dan segala bangsa, khususnya pertobatan bagi para pendosa, pembebasan bagi mereka yang tertindas dan kabar baik bagi mereka yang sakit dan miskin (cf. Aut. 110, 111).
Dalam penjelasan tentang perumpamaan talenta, sebagaimana Claret kisahkan dalam Avisos a un sacerdote (apendiks no. 12), ia menunjukan perbedaan antara seorang misionaris dan seorang pastor paroki. Keduanya telah menerima talenta imamat, pastor paroki menerima satu talenta tambahan, yaitu paroki, sementara seorang misionaris telah menerima empat talenta lain, yakni seluruh dunia. Dalam satu surat kepada seorang calon misionaris yang tergoda untuk menjadi seorang canonis ia menulis: “Perlu diingatkan bahwa menjadi seorang misionaris itu lebih dari seorang pastor paroki, lebih dari seorang canonis, lebih dari… Bahaya-bahaya yang ada dalam dua status ini lebih besar dan hasilnya kurang dibandingkan dengan status sebagai misionaris” (Epistolario, surat 886).
Pasion misionarisnya ini berbasiskan pada kecintaanya yang luarbiasa akan Sabda Allah. Bisikan profetis nabi Yesaya dan Yeremia menginspirasi dan mendorongnya untuk menjadi corong Sabda Allah (Aut. 113-120). Claret merasa terpanggil untuk meneladani dan menyerupai Yesus yang mewartakan Sabda Allah dari satu tempat ke tempat yang lain. Mosen Claret menyadari bahwa “kegalauan teologis” akan pengalaman mistiknya ketika masih berumur 5 tahun: selamanya, selamanya, selamanya…penderitaan abadi itu hanya bisa terjawab secara ekslusif melalui pewartaan Sabda; hanya kehangatan dan ketajaman Sabda Allah yang mampu menobatkan dan menyelamatkan manusia dari ancaman derita kekal. Kesadaran soteriologis inilah yang membuat Claret tidak pernah merasa lelah untuk berkotbah dan menobatkan begitu banyak orang. Detak nadi misionaris dan pasión akan Sabda Allah inilah yang menyakinkan pater Claret pada September 1839 meninggalkan spanyol dan pergi ke Roma untuk menyerahkan diri pada Propaganda Fide agar bisa diutus menjadi misionaris ke seluruh penjuru dunia.
Misionaris Apostolik: Identitas Panggilan dan Misi Claret
Pada bulan Juli 1841 Claret menerima gelar “Misionaris Apostolik” dari Tahta Suci. Sebuah gelar yang mengindikasi bahwa seseorang menerima previllage atau hak istimewa secara yuridis yang mengizinkannya untuk berkotbah di mana saja, tanpa terikat pada satu paroki atau keuskupan tertentu. Bagi Claret, gelar ini bukan hanya sebatas suatu kehormatan ataupun sesuatu yang yuridis, melainkan sebuah gelar yang mengkonfirmasi semangat dan gairah misioner yang sudah terpatri dalam dirinya sejak lama. “Misonaris Apostolik” merupakan gambaran yang lebih otentik dan mendalam berkaitan dengan personalitas Pater Claret. Gelar “Misionaris Apostolik” mengekspresikan definisi dirinya yang esensil (Cf. MCT 56). Seluruh dinamika hidup panggilan dan misi Pater Claret senantiasa dijiwai oleh roh misionaris apostolik tersebut. Hidup, panggilan dan misi Claret selalu berdimensi apostolik.
Claret memahami kata “Misionaris” sebagai karya evangelisasi, mewartakan Sabda Allah, sebagaimana dihidupi oleh para nabi, sembari mengesampingkan struktur-birokrasi pastoral dan sacramental. Baginya, kata misionaris berkaitan erat dengan Pribadi Kristus: Yang Diurap dan Diutus; Yesus Kristus adalah “Cabeza de los misioneros” (Kepala dari para misionaris). Kesadaran kristologis inilah yang terus menggerakan Claret untuk menyerupai Kristus, menyatukan dirinya dengan-Nya, mengikuti dan menderita bersama-Nya demi pewartaan Sabda Allah. Claret merasa terpanggil untuk menyerupai seutuhnya Yesus yang mewartakan Kabar Baik, berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain, dan bahkan berpuncak pada pengorbanan di Salib. Singkatnya, Claret bertekad menyerupai kemisionarisan Yesus sendiri.
Demikianpun, Claret menginterpretasi kata “Apostolik” berkaitan dengan corak hidup dan misi Para Rasul. Mereka terpanggil hidup secara dekat dengan Yesus, dan mereka diutus untuk mewartakan Injil sampai ke ujung dunia. Claret juga memahami kata apostolik sebagai corak hidup yang berpusatkan pada kemiskinan, dan kesiapsediaan untuk diutus kemana saja dalam spirit itinerant yang konstan, serta hidup dalam komunitas dan persaudaraan demi pelayanan akan pewartaan Injil.
Karakter-Karakter Misionaris Apostolik Claret
Totalitas hidup dan karya Pater Claret seutuhnya berfondasikan pada identitasnya sebagai “Misionaris Yesus Kristus” seturut gaya dan corak hidup Para Rasul. Kita dapat menyebutkan beberapa karakter fundamental Misionaris Apostolik Claret:
Pertama, Pasion-Gairah. Pater Claret mendefinisikan “pasion” sebagai kasih yang bernyala-nyala (cf. Aut.381). Dia mengutip kata-kata St. Agustinus: “kasih dikenal melalui pasion. Siapa yg tdk memiliki pasion berarti tak memiliki kasih“. Claret memahami Kasih itu sebagai “ser activo y sufrir” (menjadi aktif dan menderita):memasuki pekerjaan-pekerjaan, berkorban dan menderita demi kemulian Tuhan dan kebaikan sesama (cf. Aut. 382).Bagi Claret, seorang misionaris harus memiliki “gairah apostolik“ dan terdorong selalu oleh kasih Kristus (Caritas Christi Urget Nos). Namun, sebagaimana diyakini Claret, Pasion itu bukanlah produksi dari usaha dan jasa manusia, melainkan sebuah anugerah dari Roh Kudus. Maka, seorang Misionaris Apostolik itu diurapi dan diutus oleh Roh Kudus (Aut.118). Keterbukaan terhadap daya Roh Kudus menjadikan seorang misionaris mencintai dan berpasion-gairah akan pewartaan Sabda Allah.
Kedua, Diutus. Claret memahami semangat misionernya dgn kata-kata: “spiritus Domini super me et evangelizare pauperibus misit me Dominus (Aut. 118; Lk. 4:16-) – Roh Tuhan ada padaku, untuk mewartakan Kabar Baik kepada orang-orang miskin. Claret meghayati pengurapan dan perutusan oleh Roh Kudus untuk mewartakan kabar gembira kepada orang miskin. Dalam seluruh karya misinya, Claret selalu bersedia untuk diutus kemana saja (Aut. 156,161). Dimensi perutusan ini senantiasa dibingkai oleh sikap taat dan setia selalu pada perutusan uskup (Aut. 195), bukan demi “keinginan pribadinya” (Aut.194, 196); Claret senantiasa mengutamakan “perkara-perkara Gereja” (Aut.734, 735). Pater Claret sungguh menyadari bahwa Ketaatan akan perutusan menjadikan kerasulan kita akan menghasilkan buah (Aut. 192).
Ketiga, Kesaksian. Bagi Claret, seorang misionaris apostolik hendaknya menghayati gaya hidup yang sungguh apostolik dan injili. Seorang misionaris adalah tanda dan saksi akan Kerajaan Allah dan Injil Kristus. Demikian digarisbawahi oleh Claret dalam autobiografinya: “Dengan meneladani Kristus, seorang misionaris harus membuat dan mempraktekan lebih dahulu, barulah mengajar” (Aut. 340). Hal ini selaras dengan pernyataan Dokumen Kapitel Mision Claretian Today: “Kesaksian hidup adalah sarana istimewa bagi evangelisasi. Evangelisasi tanpa kesaksian hidup yang benar maka karya pewartaan kita mustahil bisa dipercayai” (MCT 152).
Keempat, Kerasulan lingkar luar-periferi. Dalam seluruh hidup dan pelayanannya, Claret selalu menunjukan kedekatan,cinta dan kepedulian terhadap mereka yang miskin. Dia merasa dipanggil dan diutus untuk mewartakan Injil dan berpihak terhadap orang-orang kecil dan miskin. Sikap option for the poor bukanlah sebatas pada rasa iba atau belaskasihan, melainkan secara nyata dan total bersolider dan berpihak terhadap orang-orang kecil dan miskin yang dijumpainya dalam ziarah misionernya. Dalam Autbiografinya kita dapat menemukan beberapa contoh kongkrit tindakan bela rasa dan solidaritas Claret terhadap mereka, misalnya: dia merelakan jatah makan siang diberikan kepada seorang janda yang anaknya kelaparan; dia tidak merasa sungkan menerima ajakan seorang pengemis untuk makan bareng sepiring buncis bersama-sama; dia tidak pernah merasa lelah mengunjungi orang sakit baik siang maupun malam; Claret selalu membela keadilan dan martabat kaum negro serta menyediakan lapangan kerja selama menjadi Uskup di Kuba; selama dia menjadi Bapa Pengakuan Ratu dia tidak mau tinggal di dalam kenyamanan dan kemewahan istana, tetapi meminta tinggal di luar istana supaya dapat melayani orang-orang kecil dan miskin…. Masih banyak contoh kongkrit lainnya yang menunjukan betapa besar solidaritas dan keberpihakan Claret terhadap mereka yang kecil dan miskin.
Kelima, Komunitas “Sarang Lebah”. “….rumah kami seperti sarang lebah, yang satu keluar yang lain masuk menurut ketentuan yang saya berikan kepada mereka, dan mereka semua selalu sangat gembira dan bahagia. Maka orang-orang di luar heran akan apa yang mereka lihat, dan memuji Allah” (Aut. 608). Bagi Claret, keteraturan hidup dan persaudaraan dalam komunitas menjadi tanda kesaksian yang efektif dan kekuatan evangelisasi. Hidup persaudaraan komunitas selain menjadi kekuatan demi kesuksesan dalam bermisi, juga saksi nyata akan Kabar Baik dan sukacita Injil bagi sesama. Kasih, keramahtamaan, solidaritas, communio, sehati sejiwa dalam hidup bersama akan menjadikan komunitas kita “sarang lebah”, yang menghasilkan madu sukacita bagi orang-orang di sekitar kita.
Catatan Ahkir
Kongregasi kita telah mencanangkan bulan Oktober 2019 sebagai “Bulan Misi Extraordinary-Luar Biasa”. Sebagai Misionaris Claretian, kita dipanggil untuk belajar dan menyerupai spirit Misionaris Apostolik St. Antonius Maria Claret. Di tengah arus gelombang perubahan zaman now, kita dituntut untuk tetap teguh dan setia pada kharima misioner yang telah diwariskan oleh Bapa Pendiri kita. Kita semua diminta untuk tidak melupakan identitas kita di tengah dunia dan Gereja, yakni sebagai Misionaris-pewarta Sabda Allah. Misionaris adalah ADN kita sebagai Claretian. Missionarii sumus…Somos Misioneros…We are Missionaries…KITA ADALAH MISIONARIS.
Bibliografi:
Jose Maria Viñas dan Jesus Bermejo, San Antonio Maria Claret, Autobiografia, Editoral Claretiana, Barcelona, 2018.
Emilio Vicente Mateu, San Antonio María Claret, Misionero Apostólico, Publicaciones Claretiana, Madrid, 2017.
Seminari Hati Maria, Kupang – Indonesia. Delegasi Independent Indonesia-Timor Leste sedang berbahagia. Sabtu, 19 Oktober 2019, enam frater Claretian bersama dua frater Kongregasi Hati Kudus Yesus dan Hati Tak Bernoda Maria, dan satu frater Keuskupan Agung Kupang menyerahkan diri untuk ditahbiskan menjadi diakon.
Adapun tema yang diangkat adalah “Dipanggil Menjadi Saksi dan Pewarta Sukacita Injil.” Tema tersebut diangkat bertautan tugas seorang diakon sebagai pelayan Sabda Allah.
Perayaan Ekaristi tahbisan diakon dan Pemberkatan Aula Claret, yang dibangun atas bantuan dari Keuskupan Koln (Jerman) dan Dewan Jendral CMF (Roma) ini dipimpin langsung oleh Bapa Uskup Keuskupan Agung Kupang, Mgr. Petrus Turang. Dalam pesannya kepada para diakon, Bapa Uskup meminta kepada para diakon agar menjalankan tugas mereka sebagai pewarta Sabda. Untuk itu, para diakon dinasihati untuk selalu menyiapkan diri dengan baik sebelum mewartakan Sabda Tuhan, termasuk menyiapkan renungan dalam bentuk tulisan. “Kotbah harus dipersiapkan dalam bentuk tulisan. Tulis, tulis!”, tandas Uskup asal Manado ini.
Bapa Uskup tidak memungkiri akan adanya karya Roh Kudus ketika berkotbah. Namun, bagi Bapa Uskup, seorang pewarta janganlah memaksa Roh Kudus bekerja ketika seorang hendak berkotbah tanpa mempersiapkan diri dengan baik saat mewartakan Sabda Tuhan.
Para frater yang ditahbiskan menjadi diakon adalah Fr. Metodius Manek, CMF; Fr Yeremias Nardin, CMF; Fr. Agustinus Harun Weruin, CMF; Fr. Robertus Payong Pati, CMF; Fr. Apolinaris Vinsensius Tarut, CMF; Fr. Patrisius Weka Bakior, CMF. Dua orang frater dari Kongregasi Hati Kudus Yesus dan Hati Tak Bernoda Maria: Fr. Bernardus Uskono, MSSCC dan Fr. Marsianus Maximus Leu, MSSCC dan satu orang frater dari Keuskupan Agung Kupang: Fr. Bernardus Robertus Ujan.
Profisiat untuk para diakon yang ditahbiskan. Jadilah pelayan Sabda Allah yang handal. Para diakon dipanggil menjadi saksi dan pewarta sukacita Injil (Mario F. Cole Putra, CMF – TOP-er Novisiat Claret Benlutu)
Pra Novisiat Claret, Kupang – Indonesia. Tanggal 30 September 2019, bertepatan dengan peringatan wajib Santo Hieronimus dan penutupan Bulan Kitab Suci Nasional 2019, Komunitas Pra Novisiat Claret melaksanakan upacara pembukaan bulan Claret yang akan berpuncak pada tanggal 24 Oktober. Upacara pembuka diawali dengan Ekaristi kudus pada pagi hari yang dipimpin P. Eusabius Toda, CMF. Dalam kotbahnya, P. Eus menekankan pentingnya menimba inspirasi dan semangat misioner sang pendiri, St. Antonius Maria Claret dalam menjalani panggilan hidup sebagai seorang Misionaris Claretian.
Sore harinya, upacara dilanjutkan dengan penyalaan obor yang dipimpin P. Yohanes Mangge, CMF. Dalam sambutnya, beliau berpesan agar semua pengikut Kristus yang mengikuti gaya misioner Pater Claret, hendaknya tidak pernah merasa lelah untuk berjalan dan berbuat baik kepada siapa saja. “We Walk To The End!” tegasnya.
Setelah penyalaan obor, semua anggota komunitas mengadakan jalan santai sebagai simbolisasi kesediaan seorang Misionaris Claretian untuk berjalan ke mana saja ia diutus. Di samping jalan santai, ada juga beberapa kegiatan akademik dan non akademik yang telah disiapkan panitia demi memeriahkan pesta Claret tahun ini. Adapun kegiatan akademik yang akan dilaksanakan adalah kuis Claret sebagai salah satu cara untuk semakin mengenal, mencintai dan terlebih mampu menimba semangat misionernya. Kegiatan non akademik antara lain, Claret Idol dan perlombaan-perlombaan di bidang olahraga.
Sebagaimana Claret yang memenangkan semua permainan ketika ia ikut bermain, demikian juga kita, para Claretian, diajak untuk memberikan seluruh diri dalam bulan Claret ini agar tidak hanya kemenangan yang ingin kita capai tetapi juga semangat untuk berusaha dan bekerjasama dalam kehidupan panggilan kita. Vamos! (A.Y. Usfal, cmf)
Seminari Hati Maria, Kupang – Indonesia. Menyongsong Pesta Bapa Pendiri Kongregasi Putra-Putra Hati Tak Bernoda Maria (Misionaris Claretian), St. Antonius Maria Claret yang menurut penanggalan liturgis dirayakan pada setiap tanggal 24 Oktober, komunitas Seminari Hati Maria dan Claretian House Kupang membuka rangkaian kegiatan yang akan berlangsung selama kurang lebih sebulan ini pada Senin, 23 September 2019.
Perayaan pembukaan ini dimulai dengan penyalaan obor misionaris dari Taman Patung Claret dan berarak diiringingi nyanyian menuju lapangan futsal Seminari Hati Maria. Obor misionaris ini melambangkan api (semangat) misionaris yang diwariskan oleh Bapa Pendiri dan dihidupi oleh segenap Misionaris Claretian serta selalu dinyalakan kembali dari karisma sang Pendiri sendiri.
Dalam amanatnya, superior komunitas Seminari Hati Maria, P. Yoseph Ferdinandus Melo, cmf, mengatakan bahwa, “kegiatan-kegiatan yang dilakanakan dalam rangka memeriahkan Pesta St. Antonius Maria Claret ini bertujuan untuk memupuk kecintaan terhadap Bapa Pendiri dan terutama untuk menimba serta belajar dari karisma dan semangat misioner St. Antonius Maria Claret sepanjang masa formasi awal ini.” Lebih lanjut ia mengingatkan kembali akan identitas panggilan seorang Claretian. “Kita adalah misionaris, dan itu adalah identitas kita,” lanjutnya. Diharapkan melalui kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan membangkitkan semangat misioner dalam diri para misionaris muda di dua komunitas formasi ini untuk memiliki semangat, “Jiwaku untuk seluruh dunia,” seperti kata St. Antonius Maria Claret sebagaimana tema perayaan kali ini.
Hadir dalam perayaan pembukaan ini, P. Valentinus Laga Ola, cmf – Ekonom dan formator di Seminari Hati Maria; P. Mansentus Jemarut, cmf dan para frater teologan dari Claretian House; para frater filosofan Seminari Hati Maria serta karyawan-karyawati. Koordinator kegiatan, Fr. Engelbertus Seran, cmf bersama sie olahraga telah merancang macam-macam kegiatan dengan cita-cita utama untuk memupuk persaudaraan dan kekeluargaan diantara semua anggota serta menyalakan api misionaris dalam diri setiap anggota untuk menganyam cita-cita misioner ini: “Jiwaku untuk seluruh dunia.”
Claretian House, Kupang – Indonesia. Masalah perdaganan manusia saat ini semakin mewabah. Bisnis pereduksian gambar dan rupa Allah menjadi komoditas pasar bebas ini pun memiliki modus operandi yang acapkali imun dari bacaan gelagat dan alat lacak. Paus Fransiskus menyebutnya sebagai “momok yang mengerikan,” tak hanya itu, praktek perdangangan manusia adalah sebuah “wabah yang janggal” dan “luka menganga di tubuh masyarakat zaman ini.” Berbagai upaya telah dilakukan untuk memerangi jaringan gelap ini, mulai dari seruan profetis Gereja hingga ke aksi berkotor tangan di lapangan, namun rantai jaringan ini tak pernah habis diputus.
Dalam ikhtiar untuk terus bergiat memutuskan rantai jaringan gelap ini, Komunitas PIKLA (Peduli Kemanusiaan, Lingkungan Hidup dan Alam Ciptaan – yang merupakan gabungan dari JPIC para Suster PI dan JPIC Claretian), mengadakan Bedah Buku dan Diskusi tentang Arah Pastoral Anti Perdangangan Manusia di Claretian House, Jl. Claret, Matani, Kupang, Senin, 23 September 2019. Hadir dalam diskusi ini narasumber sekaligus editor buku Arah Pastoral Mengenai Perdagangan Manusia, Rm. Adrianus Suyadi, SJ. Menurut Romo yang menangani urusan human trafficking di Asia-Pasifik ini, “perdagangan manusia adalah bentuk bisnis terburuk yang menjadikan manusia seperti barang dan karena itu harus dilawan.”
Diskusi bersama ini dimoderatori oleh P. Selestinus Panggarra, CMF – pemerhati masalah-masalah kemanusiaan. Sr. Laurentia, PI, dalam sambutannya menyampaikan terima kasih atas kehadiran perwakilan institusi dan komunitas peduli masalah kemanusiaan, antara lain: JPCI Claretian, JPIC Susteran PI, Perwakilan dari GMIT, LSM JRUK, BP3TKI, IRKAK, DISNAKERTRAS, LSM JPIT. Kiranya diskusi ini semakin memperluas wawasan para pemerhati soal-soal kemanusiaan untuk tanggap dan rela berkotor tangan membantu korban serta mengingatkan orang-orang untuk tidak terjerumus ke dalam lingkaran setan ini.
Bejo, Bajawa – Flores, Indonesia. Sebanyak dua puluh satu Misionaris Claretian Regio Indonesia Timur (Timor Barat, Flores, dan Sulawesi Barat) mengadakan Retret Tahunan dan Mini Asembli di Rumah Khalwat Bintang Bethlehem “Sang Timur” Bejo, Bajawa, Ngada, Flores pada tanggal 10 – 17 September 2019. Retret Tahunan regional kali ini dibimbing oleh P. Lukas Jua, SVD, Provinsial SVD Propinsi Ende dengan tema, “Transformasi Diri Model Abraham.”
Transformasi memang merupakan mega proyek sexenium kongregasional dengan tiga kata keramatnya, “Berjalan – Menemani – Menyembah.” Mimpi dan cita-cita Claretian Indonesia-Timor Leste pun meneruskan gerak transformatif-kongregasional ini: “Misionaris, Berjalan, Menemani dan Menyembah.” Menggunakan pendekatan tokoh sambil mencermati momen paling menggugah (exciting moment) dalam anyaman kisah nomadic-transformatif Abraham, renungan Pater Lukas membuka ruang pemahaman yang semakin dalam pada apa artinya transformasi, tidak hanya pada sensus literalis dari tenunan kisah tertentu, tetapi terutama pada sensus plenior – menemukan makna yang lebih dalam dengan menghubungkan teks tersebut dengan keseluruhan makna Kitab Suci, sambil menjimpit maknanya untuk hidup kita saat ini – pesan transformatif untuk hidup di sini dan sekarang ini terasa mengalir dari balik tenunan narasi ini.
Petualangan transformatif ini diteruskan dalam Mini Asembli yang dipimpin oleh P. Frederikus Jampur, CMF (Consultor dan Prefek Kerasulan Delegasi), pada tanggal 16 – 17 September 2019. Mini Asembli ini merupakan momen untuk mengevaluasi sejauh mana tiga proses transformasi (Berjalan-Menemani-Menyembah) berjalan dan dihidupi oleh setiap anggota serta komunitas Claretian sekaligus juga merupakan puncak kunjungan kanonik beliau ke komunitas-komunitas Claretian Regio Indonesia Timur yang dimulai pada bulan Agustus yang lalu. Hadir dalam Retret Tahunan dan Mini Asembli ini komunitas dan perwakilan komunitas Claretian di Regio Indonesia Timur: Komunitas Claretian Paroki St. Maria Fatima Nurobo; Komunitas Claretian Paroki St. AMC Oenopu; Komunitas Claretian Paroki St. Theresia Kanak-Kanak Yesus Panite; Komunitas Claretian Paroki St. Hubertus Sok; Komunitas Claretian Quasi Paroki St. Marinus Puurere Ende; Komunitas Claretian Paroki St. Mikhael Tobadak; Pra Novisiat Claret Kupang; Novisiat Claret Benlutu; Seminari Hati Maria Kupang; Komunitas Claretian Taman Ziarah Yesus Maria Oebelo dan Claretian House Kupang.
Retret Tahunan dan Mini Asembli ini ditutup dengan outing bersama di Wae Pana Soa dan kampung tradisional Bena. Suguhan keindahan alam Bajawa cukup menggairahkan petualangan sang misionaris untuk terus berlangkah, seperti Abraham yang selalu tinggal dalam kerinduan kepenuhan janji Allah pada setiap kisah nomadik-transformatifnya. Kisah missioner-kemuridan kita pun bergerak dalam alur nomadic menuju kepenuhan transformasi saat “Allah menjadi semua di dalam semua” (1Kor 15:28).
(Pe. Emanuel Lelo Talok, CMF – Dipresentasikan dalam Temu Alumni FTW Jogjakarta 2016).
BEBERAPA SYAIR KUNO:
Tebe atu di’ak, los tama bele. (Agar Tebe kita baik, mari semua masuk bersama. Artinya Tebe mengandung nilai persatuan).
Tebe kalan-kalan, koba kidun mamuk. (Kalau Tebe (berpesta) terus tiap malam, maka “dompet” kita tepos. Tebe mengajarkan orang mengatur waktu dengan baik. Time is money).
Fulan Mata Kmesak, leok lema rai. (Sang Rembulan Tunggal, menyinari seantero bumi. Tebe mengarahkan orang pada Keilahian, walau pun Tunggal, namun melindungi semua makhluk).
Manu basa liras, hali tahan rodan. (Ayam mengepakkan sayap, dedaunan beringin berguguran. Usaha tidak mengkhianati hasil).
Wain sama hare, susar hotu lakon. (Tatkala musim injak padi tiba, semua susah tiada).
Tebe, atau Tebe-tebe, adalah salah satu tarian rakyat Pulau Timor. Tarian itu aslinya ditarikan pada malam hari waktu bulan purnama.
Para pria dan wanita dari kalangan masyarakat pedalaman, khususnya para petani, sering menarikannya. Selain sebagai kesenian, sebenarnya Tebe merupakan sebuah pekerjaan di dunia pertanian. Kerja merontokkan padi.
Para penari bernyanyi pantun adat Tetun (atau Kemak dan Bunak) secara bersahut-sahutan, sambil melompat, berjingkrak, meliukkan tubuh ke kiri-ke kanan, ke depan, ke belakang. Konon syair-syair nyanyian itu bernilai filosofis, antara lain; kegembiraan, persaudaraan, pergaulan muda-mudi yang wajar, hormat kepada keluarga, toleransi, hal Ketuhanan dan ketahanan hidup.
Sejarah Tarian Tebe paling asli adalah dari Kegiatan Injak Padi. Maka dikenal dengan Tebe Sama Hare. Di masyarakat Tasifeto di Pulau Timor, misalnya, setiap panen padi, pasti ada tarian Tebe. Kata tebe sendiri artinya menendang. Lengkapnya Tebe-Tatei.
“Ya, kalau yang saya tahu dari kecil, tebe berkaitan dengan “tarian melingkar dengan berdendang bersahut-sahutan pemuda-pemudi waktu malam bulan purnama untuk merontokkan padi yang baru dipotong,” demikian penggalan tulisan Alm. Om Pater Gabriel Atok, SVD tentang Tarian Tebe, ketika beliau mewawancarai para tetua adat di Belu, tahun 1970-an.
Tebe kini jarang dipakai untuk Injak Padi, tapi lebih sebagai hiburan semata. Kadang syairnya pun lebih fokus kepada patah hati dan percintaan anak muda. Tidak salah, namun kiranya makna Tebe yang hakiki, janganlah dibiarkan luntur oleh arus zaman. Tebe sekarang pun sering tidak dinyanyikan langsung oleh para penari, karena lebih mengandalkan kaset rekaman. Namun, kiranya makna Tebe tetap dijaga kebenarannya.
Semoga sampai kapan pun, makna Tebe bisa dipahami secara benar dan dijaga sampai akhir hayat oleh kita insan budaya Tanah Timor, karena filosofis hidup leluhur kita, memberi nilai positif bagi hidup masyarakat Timor.
Mandala, Medan, Indonesia. Kunjungan Kanonik merupakan kunjungan persaudaraan dari pemimpin kepada seluruh anggotanya. Kunjungan ini tentunya memiliki makna untuk merajut tali persaudaraan antara satu dengan yang lainnya. Selain itu, pemimpin juga dapat mengetahui karya dan pelayanan yang dilakukan oleh semua anggota komunitas di tempat misi masing-masing. Pada umumnya kunjungan ini dilakukan untuk mengetahui situasi dan kondisi anggota komunitas, kepemimpinan, hidup komunitas, spiritualitas, kerasulan dan juga ekonomi. Dalam kerangka berpikir inilah maka Dewan Delegasi Indonesia Timor Leste mengadakan kunjungan ke setiap regio, yakni Regio Timor Leste, Regio Indonesia Timur dan Regio Indonesia Barat.
Dalam kunjungan ke Regio Indonesia Barat diwakili oleh Dewan Delegasi Indonesia Timor-Leste yaitu P. Emanuel Lelo Talok, CMF. Kunjungan kanonik ini mencakup komunitas misi dan juga komunitas formasi. Kunjungan Kanonik di Regio Indonesia Barat dimulai tanggal 3-5 Juli 2019 di Komunitas Mandala, 5-7 Juli di Tanjung Balai, 7-9 di Siantar, 9-10 Tomok. Di sela-sela kunjungan ke wilayah Sumatera, P. Emanuel, CMF juga sempat mengunjungi bakal komunitas yang baru yakni Komunitas Binjai. Selain itu juga beliau bertemu dengan Uskup Agung Medan serta menghadiri pelantikan P. Romaldus Nairun, CMF sebagai Vikaris Episcopalis Religiosa. Tanggal 12-14 P. Emanuel melanjutkan perjalanan ke komunitas Palurejo Kalimantan. Kunjungan Kanonik ke komunitas Jogjakarta dilanjutkan tanggal 15-20 Agustus 2019, dan tanggal 20-22 Agustus di Komunitas Catalina Jakarta, dan diakhiri dengan kegiatan mini asembli tanggal 23-25 di Jakarta.
Dalam kunjungan kanonik di Regio Indonesia Timor Barat, ada kesan umum yaitu setiap anggota komunitas begitu antusias menyambut kedatangan dewan delegasi. P. Emanuel, CMF menilai bahwa selama dalam kunjungan tersebut ada rasa persaudaraan yang begitu tinggi dan sangat membahagiakan. Selain itu, dalam dialog bersama dengan setiap anggota, dirasakan ada keterbukaan dan penyampaiannya dilakukan dengan penuh kebebasan.
Kunjungan kanonik ini akhirnya ditutup dengan kegiatan mini asembli di Jakarta. Mini assembly ini dilaksanakan untuk melihat kembali seluruh proses selama kunjungan kanonik di Regio Indonesia Barat. Selain itu, mini asembli ini adalah langkah persiapan bagi asembli umum yang akan diadakan tahun 2020. (P. Fredy Y.M. Lana, cmf)
Pre Novitiate Claret, Kupang. “Today we begin a new academic year,” said Fr. Yohanes Mangge, CMF, the formator for Postulants in the introduction of the Eucharistic celebration at Pre Novitiate Claret (PNC) Kupang on Monday, September 2, 2019. Today the Pre Novitiate Claret community begins a new school year 2019-2020. The Eucharistic celebration was presided over by Fr. Yoma and was accompanied by Frs. Francisco Jose Baeza Roca, cmf (Local Superior) and Eusabius Toda, cmf (Formator of Aspirants)
One of the interesting sides that covered this celebration was the presence of the new members of the community. Aside from the postulants who already underwent one year earlier in the community, the Eucharistic celebration was attended by a fresh energetic faces of 40 Aspirants. The solid enthusiasm to undergo this new academic rhythm expressed fully through their participation in this holy Eucharist.
Listening is the key response and the expression of humility of a disciple. The beginning phase of learning process of a disciple is listening to the teaching of the masters. The attitude of listening enables a disciple to absorb the deepest meaning of his/her master’s teaching. Referring to the Gospel of Luke 4:16-30, Fr. Yoma underlined that the people in the Synagogue was angry to Jesus because they did not have the virtue of humility to listen to Jesus’ teaching. Their narrow-minded and cultural frame blocked their hearts in accepting the teaching of the Master.
Listening is the entrance door into the intellectual journey. Listening is not a passive expression, on the contrary it is an active approach in responding external stimulus. The main purpose of every single learning process is to form a solid-critical analysis and to build a paradigmatic argumentation in responding to the reality. In scientific domain this goal can only be obtained through listening. Thus, listening enables one to respond the reality critically as well as paradigmatically. Listening is the primary thesis in dialectic and in avoiding argumentation trap ad hominem, directed against a person’s character.
The celebration ended with the official announcement from the superior of the community that, “Today officially we begin the new academic year,” said Fr. Francisco JB. Roca, cmf.
Pra Novisiat Claret, Kupang. “Hari ini kita memulai tahun ajaran yang baru”, demikian kalimat pembuka Pater Yohanes Mangge CMF (P. Yoma, formator Postulan) di dalam pengantar perayaan Ekaristi di Pra-Novisiat Claret (PNC) Kupang, pagi hari ini, Senin, 02/09/2019. Komunitas PNC tepat pada hari ini memulai musim perkuliahan tahun ajaran 2019-2020. Pater Yoma selaku selebran utama didampingi konselebran Pater Fransisco Jose Baeza Roca CMF (P. Xiku, Superior Rumah) dan Pater Eusabius Toda CMF (P. Eus, Formator Aspiran).
Salah satu pemandangan menarik yang mewarnai perayaan ini adalah wajah-wajah baru anggota komunitas. Selain dihadiri oleh penghuni lama, para Postulan, Ekaristi pagi ini disemaraki juga oleh wajah-wajah cerah bersemangat 40 Aspiran. Antusiasme untuk membenamkan diri di dalam ritme akademis tampak di dalam alunan suara komunitas untuk memeriahkan perayaan Ekaristi kudus.
Mendengarkan adalah tanggapan yang tepat dan ungkapan kerendahan hati sebagai seorang murid. Tahapan awal pembelajaran seorang pelajar adalah mendengarkan ajaran para pengajar. Disposisi mendengarkan memampukan seorang murid untuk mencerap makna terdalam ajaran gurunya. Mengacu pada teks Lukas (4:16-30), Pater Yoma menegaskan bahwa semua orang di rumah ibadat marah kepada Yesus karena mereka tidak memiliki kerendahan hati untuk mendengarkan sebagai murid ajaran Yesus tatkala Yesus sedang berkotbah di Sinagoga Nazaret. Ketajaman mata dan nalar mereka terbentur prasangka dan frame kultural-religius Yudaisme.
Mendengarkan adalah pintu awal untuk memasuki medan pertualangan intelektual. Mendengarkan bukan ekspresi pasivitas, melainkan keaktivan akademik yang bijak dan kalem untuk menanggapi stimulus eksternal. Tujuan utama proses pembelajaran adalah membentuk penaralan kritis dan membangun argumentasi paradigmatik. Di dalam domain ilmiah, tujuan ini hanya bisa diraih dengan mendengarkan. Mendengarkan dengan demikian memungkinkan seseorang untuk menanggapi setiap persoalan dengan kritis dan paradigmatis. Mendengarkan adalah tesis awal untuk berdialektika dan menghindari jebakan argumentasi ad hominem.
Perayaan ini diakhiri dengan ketukan palu dibarengi pernyataan “Dengan ini tahun ajaran baru resmi dimulai” oleh Pater Xiku sebagai Superior komunitas. (Fr.L. Benevides, CMF)